JANGAN SEPELEKAN PEKERJAAN IRT

4.25.2007

Dalam suatu survey, saya bertanya tentang pekerjaan seorang Ibu. Dengan malu-malu ibu itu menjawab: “Pekerjaan apa pak, Kami ini hanya ibu rumah tangga, tidak bekerja. Bekerjanya ya bersih-bersih rumah, melayani suami, merawat anak, lainlah sama mereka yang bekerja di kantor.” Ini jawaban yang sering ditemui ketika kita menanyakan pekerjaan seorang ibu rumah tangga (IRT). Bagi mereka yang tidak bekerja (menghasilkan uang), jawabannya adalah IRT, tidak bekerja atau dirumah saja. Seolah-olah yang mereka kerjakan setiap hari itu tidak ada harganya.


Pernahkah kita membuat kalkulasi berapa duit yang didapat seorang IRT yang melakukan pekerjaan rrumah , melayani suami dan mengurus anak? Tentu tidak, bahkan oleh IRT itu sendiri. Kenapa? Karena, budaya kita memang seperti itu. Segala pekerjaan rumah tangga (RT) adalah urusan istri, kecuali beberapa kasus seperti, membetulkan genteng bocor. Makanya, ketikas seorang suami pulang dari kerja belum ada makanan di atas meja atau anaknya belum mandi, si suami akan berteriak marah-marah.

Ketika bayi lahir, pekerjaan seorang ibu tidak berhenti sampai di situ. Pekerjaan memandikan, menyuapi bahkan mengganti popok dimalam hari ketika sang suami tidur mendengkur, menjadi pekerjaan rutin setelah fase melahirkan anak. Ia sadar, sang suami capek setelah bekerja seharian tanpa menyadari bahwa ia sendiri juga capek setelah bekerja seharian mengurus rumah.

Memasak, mencuci, membersihkan rumah menjadi rutinitas sehari-hari yang tidak ada habis-habisnya. Bahkan ketika sedang tidur harus dibangunkan oleh suami untuk memberi ‘pelayanan biologis’, kewajiban katanya. Tetapi kalau kewajiban itu dilakukan ketika sedang capek dan dengan sangat terpaksa, bagaimana?

Pernahkah suami membayangkan, ketika ia capek bekerja istri yang notabene IRT di rumah juga kecapekan? Menyapu, mengepel lantai, belepotan kotoran bayi atau bahkan mengejar-ngejar penjual sayur hanya karena ingin memasak makanan kesukaan suami. Sekali lagi, pernahkah suami membayangkannya?

Tidak kita pungkiri, sekarang banyak perempuan bekerja mencari uang tetapi ketika mereka pulang ke rumah statusnya tetap sebagi IRT. Ia juga yang membuatkan teh untuk suaminya, bukan?

Mengatur keuangan Rumah Tangga, menjadi pekerjaan yang berat bagi seorang ibu. Tidak jarang Rumah Tangga menjadi hancur karena persoalan keuangan. Dalihnya, istri tidak pandai mengatur uang. Sadarkah kita, IRT itu bukan akuntan atau ekonom. Banyak dari mereka yang cuma berpendidikan sekolah lanjutan. Terlepas dari itu, banyak juga yang pandai mengatur keuangan rumah tangga.

Implikasi

Bagi perempuan yang berstatus sebagai IRT dan tidak bekerja, akan bergantung pada suami untuk mengambil keputusan. Pada tingkat pemenuhan kebutuhan rumah tangga, terkadang kebutuhan anak dan ia sendiri di pinggirkan. Dikalahkan oleh kebutuhan suami, misalnya untuk merokok, karena suami yang mencari uang. Umumnya perempuan akan berpikir dua kali untuk melarang suaminya agar tidak merokok. Bukankah akan lebih baik daripada rokok yang tidak ada gunanya, uangnya dibelikan untuk kebutuhan anak. Di sini terkadang egoisme suami muncul, bukankah suami yang mencari uang, kenapa giliran mau memakai tidak boleh?

Pada kasus lain, banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga tidak mau melapor kepada pihak berwajib atau pembela hak asasi perempuan. Apalagi sampai membuat keputusan untuk berpisah dengan suaminya. Mereka tidak berani karena secara ekonomi tergantung pada suami. Mereka berpikir kalau berpisah bagaimana harus mencari makan, bagaimana anak-anak dan alasan lainnya. Jarang sekali status mereka sebagai IRT sekaligus chef, binatu, orang yang pintar mengatur uang menjadi ‘senjata’ bagi perempuan untuk memperkuat posisi mereka.

Sudah saatnya suami juga mengerti beban kerja isteri (IRT) yang tidak bergaji. Sekali-sekali membantu mencuci, membuat susu anak, memasak, mengepel lantai atau membuatkan teh untuk isteri. Tidak ada salahnya, bukan?

Source : Taken From Banjarmasin Post, April, 24 2007